top of page
Search
  • Writer's pictureDokumen Sejarah

NASIONALISME PEMUDA DALAM SEMANGAT SUMPAH PEMUDA



Peringatan 93 Tahun Sumpah Pemuda tahun 2021 masih berada dalam kondisi Covid 19 dimana para pemuda masih bersikukuh dengan penggunaan masker dan pemberian vaksin. Diberbagai daerah proses pendidikan dan pembelajaran para pemuda masih masih bersifat virtual. Kalaupun ada yang mulai belajar tatap muka – itupun masih uji coba.

Keterbatasan gerak langkah para pemuda saat sekarang tentu disebabkan karena virus Covid-19 masih bergerilya diberbagai pemukiman masyarakat dan wilayah yang luas.

Secara historis, peringatan Sumpah Pemuda telah menjadi bagian penting bagi sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa ini pada hakekatnya menjadi inspirasi sekaligus pemicu dan pemacu para pejuang menghadapi sekaligus mengusir penjajah. Saat itu, hadir suatu pemikiran strategi dan taktik edukatif menghadapi para penjajah dengan menampilkan berbagai organisasi pemuda dengan semangat nasionalisme, heroism dan patriotism. Organisasi social politik yang dimotori oleh kaum muda terdidik ini berasal dari berbagai latar belakang organisasi, daerah, ras, dan agama.

Mereka berhasil membangun tradisi baru perjuangan guna meraih kemerdekaan. Peristiwa sumpah pemuda menjadi satu titik awal perwujudan kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa. Tanpa peristiwa ini, mungkin saja semangat persatuan melawan penjajah tidak pernah terwujud. Penumpasan penjajajah bisa saja bersifat spatial- satu ditumpas dan tempat yang lain kembali membara.

Upaya membangun kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa telah dimulai sejak penghujung abad ke-20 sampai awal abad ke-21. Di periode ini mulai tumbuh semangat perjuangan kemerdekaan yang dipelopori sebagian besar oleh kaum milenial berpendidikan Barat. Visi yang diemban pun mengalami perubahan orientasi dari semula bersifat kedaerahan, meluas dengan terbentuknya perjuangan politik dengan semangat kebangsaan. Itulah yang oleh Ernest Reenan dalam buku “Dibawah Bendera Revolusi” karya Ir. Sukarno dikatakan dengan Nasionalisme.


Akibat itu semua, berbagai perkumpulan, organisasi dan bahkan partai politik bermunculan bagaikan “jamur dimusim hujan”. Perjuangan melalui gerakan terorganisir pun mulai bermunculan, seperti : Budi Utomo (1908), Sarikat Islam (1912), organisasi kedaerahan seperti Jong Java (sebelumnya bernama Tri Koro Dharmo pada tahun 1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Ambon (1918), dan Jong Celebes (1919).

Tidak hanya kaum laki-laki, para perempuanpun ambil bagian mendirikan berbagai organiasisosial, lembaga pendidikan dan gerakan-gerakan perjuangan. Diantaranya adalah: lembaga pendidikan wanita Diniyah Puteri di Padangpanjang oleh Rahmah El Yunisiah, organisasi Putri Mardika (atas bentukan Budi Utomo di tahun 1912), Sekolah Kautamaan Istri (Tasikmalaya tahun 1913), Keradjinan Amal Setia (didirikan oleh Rohana Kudus di Bukittinggi tahun 1914), Wanito Hadi (Jepara 1915), Sarekat kaoem Ibu Soematera (Bukittinggi 1920), Kemadjoean Istri (Jakarta dan Bogor 1926), Mardi Kamoeliaan (Madiun 1927), dan Ina Toeni (Ambon 1927)

Sejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928

Perubahan arah perjuangan bangsa Indonesia menghadapi Belanda secara historys sebetulnya diawali dengan munculnya politis etis yang diberlakukan Kolonial Belanda didaerah jajahannya. Politik etis itu memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk mengecap pendidikan. Walau tingkat pengetahuannya hanya sekedar pandai berhitung, membaca dan kemampuan tenaga administrasi dasar, namun dalam perkembangannya itulah menjadi pembuka cakrawala pandang bangsa terhadap penjajah.


Memasuki abad 20 arah perjuangan di Indonesia mengalami pembaharuan dengan ditandai lahirnya gerakan pemuda intelektual, lingkar-lingkar belajar, pendidikan-pendidikan politik yang mengadopsi pengetahuan eropa, menyerap ide-ide kebebasan, mempelajari teori-teori perjuangan rakyat di berbagai Negara hingga pergolakan revolusi besar seperti di Rusia. Hal tersebut mendorong pemuda intelektual Indonesia untuk menuangkan gagasannya kedalam gerakan pembebasan rakyat atas penjajahan kolonial. Demikian juga saat itu pembentukan kesadaran nasional pada waktu itu melalui bantuan kapitalisme percetakan di Indonesia.


Percetakan menjadi media pembentukan bahasa nasional (lingua franca) yang mampu membentuk jiwa sebangsa, setanah-air dan menularkannya hingga ke pelosok-pelosok negeri. Lahirnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 bermula dari sebuah manifesto politik yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda pada tahun 1925. Gerakan ini mengeluarkan tiga pokok pemikiran. Pertama, rakyat Indonesia sudah sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih sendiri. Kedua, dalam memperjuangkan pemerintahan tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun. Dan yang ketiga, tanpa persatuan, perjuangan tidak akan dicapai. Menindaklanjuti gerakan ini Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) mengadakan pertemuan para pemuda se-Nusantara, yakni Kongres Pemuda I (30 April 1926 - 2 Mei 1926, di Jakarta) dan berlanjut pada Kongres Pemuda II (27 - 28 Oktober 1928, di Jakarta).


Pertemuan kedua dihadiri oleh beberapa organisasi pemuda kedaerahan seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Islamieten Bond, Pemuda Kaum Betawi dll dan para peserta kongres telah menyepakati dasar-dasar persatuan dan melahirkan Sumpah Pemuda dengan ikrar "Mengaku Bertumpah Darah Satu-Tanah Air Indonesia, Berbangsa yang Satu-Bangsa Indonesia, dan Menjunjung Bahasa Yang Satu- Bahasa Indonesia". Dengan demikian, Sumpah Pemuda bukan hanya mendorong semangat persatuan rakyat Indonesia. Namun, Sumpah Pemuda juga membangun tradisi baru perjuangan mencapai kemerdekaan. Gagasan kebangsaan Indonesia merupakan hal yang progresif. Oleh karena itu, dengan cara ini bangsa yang terjajah dapat menghimpun kekuatan guna melepaskan diri dari cengkraman kolonialisme dan rakyat Indonesia dimungkinkan mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat.


Memaknai Nasionalisme


Nasionalisme menjadi masalah yang fundamental bagi sebuah negara. Tantangannya akan sulit jika suatu negara memiliki karakter primordial yang pluralistic, seperti halnya Indonesia. Terlebih satu fakta negara, pada hakikatnya merupakan hasil social contract, secara intrinsic mengandung potensi-potensi disintegrasi.Dengan demikian, dalam proses "menjadi Indonesia" akan selalu terdapat pressing faktor yang dapat memicu perpecahan kapanpun. Klaim terhadap "NKRI Harga Mati" belakangan ini belum dimaknai secara substansi.


Pengakuan seperti ini tidak lain merupakan hasil dari politik homogenisasi, bahkan dengan cara-cara seperti ini sebenarnya dapat menyulut konflik di tengah masyarakat. Dewasa ini, bisa saja kita lihat sekelompok orang yang mengklaim diri sebagai yang paling pancasilais, paling mencintai NKRI. Hal tersebut mengakibatkan harmonisasi keberagaman dalam nilai-nilai Pancasila tidak pernah betul-betul menciptakan realitas historis, melainkan sebuah agenda penyeragaman sebagai syarat beban kepentingan.


Jika kita mencoba memaknai bangsa, kebangsaan, dan nasionalisme, maka penjelasan yang paling ideal dengan mengadopsi konsep Benedict Anderson, yakni imagined community (komunitas terbayang). Bagi Benedict Anderson, bangsa bukanlah merupakan sesuatu yang real, melainkan hanya sesuatu yang terbayang. Penjelasan mengenai kebangsaan (nasionalisme) dibentuk dari imajinasi kolektif yang mengikat orang dan disatukan sebagai sebuah bangsa atas persamaan nasib, identitas, darah, ideologi, dan kepentingan. Terbentuknya gagasan nasionalisme di kalangan pemuda dan lahirnya Sumpah Pemuda1928 berawal dari imajinasi kolektif ini.


Tantangan Nasionalisme Bangsa


Tantangan nasionalisme generasi muda kedepan tentu sangat berbeda dengan masa sebelumnya. Apalagi masa-masa dimana media tidak memiliki peranan yang dominan. Lebih kurang dua tahun seluruh komponen bangsa menggunakan media handphone, laptop dan computer untuk berkomunikiasi, menghibur diri, bertransaksi dan bernegosiasi, disadari atau tidak telah mengikis sedikit banyaknya kadar nasionalisme mereka.


Anak-anak kita mulai bangga manakala setiap saat mereka dikirimkan makanan produk luar lewat gojek. Di lain waktu merekapun bangga melakukan komunikasi dengan teman “dadakannya” menggunakan Bahasa asing. Dan bahkan ada juga diantara mereka yang sepakat untuk menikah antar negara dengan menggunakan budaya “nano-nano” dalam penyelenggaraan pernikahannya. Karena banyaknya distribusi informasi, mereka bahkan juga bangga dengan pimpinan negara lain dan melecehkan pimpinan bangsanya sendiri.

Sudah saatnya para pemuda segera sadar akan nilai-nilai yang selama ini mereka gaungkan ternyata berbeda jauh dengan nilai kebangsaan yang telah ditanamkan oleh Founding Father kita.



Balakdokjarah Disjarahad

No Document No History

0 views0 comments
Post: Blog2_Post
bottom of page